Kondisi Rupiah di Masa Pandemi Covid-19
Jakarta, Beritasatu.com – Rupiah bukan merupakan salah satu mata uang yang pada umumnya diperjualbelikan oleh trader dalam perdagangan foreign exchange (forex). Hal ini akibat dari rendahnya likuiditas dibanding mata uang lain, yang umumnya diperjualbelikan seperti poundsterling, euro, dolar Amerika Serikat (AS), yen, dan lainnya.
Sehingga, mayoritas perdagangan rupiah dilakukan untuk keperluan pribadi, seperti untuk bepergian keluar negeri, kegiatan perdagangan ekspor dan impor, serta untuk urusan internasional yang dilakukan negara. Karena itu, rupiah tidak memiliki volatilitas sebesar mata uang lainnya. Namun, di masa pandemi virus corona atau Covid-19 tidak ada mata uang yang kebal.
Mengacu data Bloomberg, dampak dari suatu peristiwa terhadap nilai tukar rupiah terjadi pada masa pandemi Covid-19. Pandemi ini menyebabkan nilai rupiah terguncang hingga terdepresiasi cukup dalam. Akibatnya, titik tertinggi rupiah pada tahun 1998, berhasil ditembus pada bulan Maret 2020.
Dapat dilihat terjadi depresiasi yang cukup tinggi dari mata uang rupiah terhadap dolar AS. Penyebab utamanya, pandemi virus Covid-19 yang menghambat seluruh aktivitas ekonomi, dan membuat beberapa aspek kehidupan berubah.
Faktor Penyebab Depresiasi Rupiah
Salah satu faktor yang menjadi penyebab depresiasi rupiah adalah turunnya kegiatan produksi akibat kebijakan pembatasan sosial. Menurunnya kegiatan produksi menyebabkan penurunan dalam pendapatan perusahaan-perusahaan yang menjadi penggerak dari perekonomian.
Dampak awal dari turunnya produksi ini adalah kenaikan harga dari barang yang di produksi. Namun, dengan menurunnya produksi yang dilakukan oleh masyarakat yang berperan sebagai konsumen, maka konsumsi ikut turun.
Turunnya tingkat konsumsi ini, maka produsen mengikuti pasar agar terjadi keseimbangan dan membuat penurunan harga. Turunnya harga ini akan menyebabkan penurunan pendapatan produsen dan menimbulkan keseimbangan baru yang disebut fase deflasi.
Fenomena deflasi ini menyebabkan turunnya konsumsi dan produksi yang membuat produk domestik bruto (PDB) negara turun. Dengan turunnya PDB yang dianggap sebagai pengukur pertumbuhan negara, maka penanam modal asing akan pergi karena kekhawatiran modal yang diinvestasikannya pada sesuatu yang sedang memburuk, yaitu negara yang sedang deflasi.
Dalam kasus Indonesia, dengan turunnya perekonomian akibat Covid-19, pergerakan modal keluar, membuat nilai rupiah terdepresiasi akibat dari pembelian mata uang lokal investor tersebut dengan rupiah yang dilakukan berskala besar. Ditambah dengan pembelian mata uang asing seperti dolar Amerika oleh orang Indonesia yang ingin mengamankan uangnya dengan menarik modal dari lokal ke luar negeri. Hal ini semakin membuat rupiah terdepresiasi.
Dikabarkan oleh Bank Indonesia (BI) pada Maret, arus modal keluar dari Indonesia tercatat Rp 121,26 triliun. Perbandingannya adalah dengan bulan April di mana rupiah mulai mengalami pemulihan, arus keluarnya hanya mencapai Rp 2,14 Triliun. Data ini menunjukan jika besarnya dampak arus modal pada rupiah.
Dalam menghadapi turunnya perekonomian dan arus modal yang masuk, Bank Sentral pun melakukan beberapa kebijakan seperti penurunan suku bunga dan operasi pasar terbuka. Penurunan suku bunga diharapkan meningkatkan investasi, karena jika suku bunga turun maka secara teori, kemauan untuk menabung akan turun karena disinsentif, dan akan menuju pada investasi perekonomian riil.
Dengan investasi ini, harapannya adalah lebih banyak uang beredar, sehingga ada dorongan untuk produksi dari investasi yang berujung pada tingkat konsumsi. Karena dengan bertambahnya jumlah uang beredar di perekonomian diharapkan akan lebih baik soalnya akan ada uang yang digunakan untuk produksi dan konsumsi.
Namun, sisi negatifnya dengan bertambahnya jumlah uang beredar, maka akan terdepresiasi nilai rupiah. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya kuantitas rupiah yang beredar. Karena jika suatu barang kuantitasnya banyak maka nilainya tidak akan tinggi, kecuali barang inelastis. Namun, mata uang bukanlah barang inelastis sehingga rupiah terdepresiasi. Bukti nyatanya adalah turunnya suku bunga dari 4,75 persen ke 4,5 persen pada Maret 2020 di saat rupiah terdepresiasi berat.
Ditambah dengan adanya operasi pasar terbuka oleh Bank Sentral, untuk mendorong jumlah uang beredar, akhirnya rupiah terus terdepresiasi. Hal ini dikarenakan operasi menggunakan uang dari cadangan devisa yang menggunakan beberapa instrumen seperti emas, dana dari International Monetary Fund (IMF) berupa tabungan iuran dan juga hak pengambilan khusus anggota, piutang negara lain, dan valuta asing.
Hampir seluruh komponen ini didenotasikan dengan dolar AS, sehingga dalam proses pengambilannya, maka rupiah akan terdepresiasi oleh dolar karena ada pertukaran mata uang. Bukti nyata dari pergerakan ini adalah di Maret 2020, cadangan devisa Indonesia turun untuk menyelamatkan perekonomian, dari US$ 130,4 miliar menjadi US$ 121 miliar, bersamaan dengan depresiasi tertinggi rupiah terhadap dolar AS.
Walaupun telah mengalami depresiasi tinggi di Maret 2020, pada April 2020, rupiah berusaha untuk pulih. Pergerakan menurun ini terus terjadi hingga bulan ini, yang memberikan harapan untuk kembali pulihnya nilai rupiah.
Harapan Positif Apresiasi Rupiah
Harapan bagi rupiah muncul akibat dari insentif-insentif faktor eksternal dan internal. Insentif dari eksternal seperti bantuan dana pemerintah AS, suntikan-suntikan dana dari bank sentral di seluruh dunia seperti Bank of Japan dan The Fed, dapat memberikan harapan bahwa investor asing akan kembali ke Indonesia dan meningkatkan jumlah arus modal kembali.
Adanya pertanda kehidupan normal yang baru atau new normal dengan pembukaan pembatasan sosial secara perlahan oleh pemerintah Indonesia, tentu terdapat harapan baru bagi rupiah untuk apresiasi. Dengan kemungkinan pulihnya ekonomi, produksi dapat berjalan kembali normal, terutama dalam perihal ekspor yang dapat meningkatkan perekonomian. Hal ini terbukti karena bulan Mei dan Juni ini Indonesia mengalami surplus dalam neraca dagang.
Ini dapat menjadi pertanda bahwa pemulihan dalam nilai rupiah akan terus terjadi bersamaan dengan pemulihan ekonomi Indonesia. Ditambah dengan kepercayaan dari perekonomian global akan pemulihan perekonomian, dan pergerakan harga rupiah dua bulan terakhir ini, pemulihan nilai rupiah dapat terjadi dalam masa yang akan datang.
Sumber:BeritaSatu.com